AUTISME ?
Autisme adalah
kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang
kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat
dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan
menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal.
Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita
Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin,
seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja
memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah
dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak
memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang
menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina
hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun
memahami emosi serta perasaan orang lain.
Autisme merupakan salah satu
gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum
Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan
dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive
Development Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang
terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat
berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku
penyandang autisme. Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
Hingga kini
apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara
pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapahipotesa mengenai
penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah
faktor genetik atau keturunan
dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi atau pun vaksin.
1. Faktor
genetik
Faktor genetik
diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak
diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.
Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.
Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.
Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
2. Faktor
lingkungan
Ada dugaan
bahwa autisme
disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak.
disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak.
Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh
pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah
diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.
TANDA dan GEJALA
Secara
historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam
menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya,
diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli
setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinium. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila
seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah
laku yang berulang.
Aarons dan
Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam
mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh
di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di
taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak
dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman
sebaya mereka yang normal.
Persoalan
lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa sering kali juga muncul dari
adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut
mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan
sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam
memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu
menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya
kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan
konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang
semakin memperburuk.
Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan
keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak
sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan
anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di
bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan
awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak,
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar,
kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang
menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Posting Komentar